Rumah tinggal era milenial, di kota kota besar, rata rata dibangun dengan konsep penyederhanaan fungsi yakni sebagai tempat istirahat. Praktis, modern, minimalis. Aspek estetika eksterior nyaris hilang, kendati interior didesain dengan tampilan modern dan minimalis.
Secara arsitektural filosofis, pemilik rumah seperti ini melupakan aspek fisika bangunan atau akustik ruang, frekuensi rumah tinggal dan suhu. Apalagi aspek lingkungan, karena menyerahkan suhu ruang dicukupkan dengan perangkat mesin pendingin.
Hubungan antara filsafat dan arsitektur sebenarnya bersifat interogatif dan proposisional. Hal ini jika dikaitkan dengan sebuah pertanyaan mengenai arti tempat tinggal manusia. Apa artinya tinggal di lingkungan yang dibangun lalu tentang mengevaluasi rencana dan proyek desain di mana perkembangan manusia dan kemajuan sosial dapat terjadi dengan baik, Bahkan jenis bangunan, ruang interior, dan kawasan perkotaan.
Permasalahan berikut tentang estetika, etika, serta permasalahan metafisik dan epistemologis yang menghubungkan filsafat dengan arsitektur. Meskipun para filsuf dan ahli teori arsitektur, dan sering kali praktisi desain, masing-masing diharapkan memiliki minat terhadap salah satu atau semua pertanyaan di atas.
Sebagai cendekiawan atau intelektual publik, para ahli teori arsitektur telah memainkan peran yang sama besarnya, jika tidak lebih dalam membentuk bidang daripada yang dimiliki para filsuf. Bukan sekadar titik, garis, bidang dan ruang.
Terdapat alasan-alasan historis mengenai hal ini, yang banyak berhubungan dengan asal-usul dan evolusi berbagai disiplin akademis dan perspektif kritis: pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan oleh salah satu pihak, pada suatu periode tertentu atau terus-menerus dalam beberapa kasus dan masyarakat paling khawatir untuk bertanya kepada mereka. Berikut ini pertanyaannya, pertama tentang apa filosofi arsitektur.
Bagaimana seharusnya filsafat dihubungkan dengan arsitektur. Kedua, bagaimana dan dalam hal apa arsitektur berkaitan dengan estetika, bagaimana dan dalam hal apa arsitektur berkaitan dengan etika. Apakah ada hubungannya dan ketiga, apa hubungan arsitektur dengan permasalahan sosial dan politik dan apa yang dapat kita ketahui tentang pengetahuan dan disiplin arsitektur dari sudut pandang politis.
Karakter campuran arsitektur berasal dari subjek wacana filosofis dan teoritis yang tumpang tindih serta kategori praktik kreatif. Filsafat arsitektur telah lama dikaitkan dengan estetika. Meskipun arsitektur mungkin merupakan suatu bentuk seni, ia bukanlah cabang estetika.
Faktanya sebuah kasus dapat diajukan untuk merelokasi arsitektur, seperti yang dipertimbangkan secara filosofis, terutama, meskipun tidak secara eksklusif, dalam etika dan filsafat sosial dan politik.
Namun dari sudut pandang ahli teori arsitektur, atau sudut pandang ahli geografi atau perencana kota, mengklasifikasikan arsitektur sebagai topik estetika mungkin tampak terlalu sempit atau kurang sesuai.
Maksud saya, tentu saja, memperlakukan arsitektur dalam estetika tidak menghalangi pertimbangannya dari sudut pandang lain dan sama sahnya jika ada entri tentang arsitektur yang digabungkan dengan filsafat sosial atau psikologi evolusioner. Namun demikian, dari sudut pandang lain ini, menempatkan filosofi arsitektur terutama pada estetika adalah hal yang menyesatkan.
Sudut pandang vernakular, misalnya. Arsitektur nusantara lebih menekankan pada aspek struktur dan atau konstruksi karena persoalan kondisi alam yang, menurut mereka, hanya memerlukan kekuatan rumah dari gangguan atau serangan binatang buas.
Pertanyaan tentang di mana menempatkan filosofi arsitektur bukan sekadar masalah preferensi atau pertanyaan topografi yang tidak terlalu penting. Sebaliknya, permasalahan ini dapat dikaitkan dengan praktik arsitektur dengan cara memperluas konsepsi kita tentang arsitektur, praktek arsitektur, dan arsitek.
Bagaimanapun, pertanyaan tentang di mana menempatkan filsafat arsitektur. Menyoroti perbedaan signifikan antara para ahli teori arsitektur dan filsuf dengan pembuat konsep, menganalisis, dan mengatasi berbagai topik yang menjadi perhatian bersama.
Meskipun para filsuf seni dan estetika masih lebih cenderung mempertimbangkan arsitektur dibandingkan para filsuf sosial dan ahli etika, para ahli teori arsitektur melihat hubungan dengan etika dan isu-isu sosial dan politik sebagai hal yang lebih relevan dan penting.
Namun, dengan mempertimbangkan keprihatinan filsafat dan teori arsitektur, filsafat arsitektur memperluas domain konseptual dan kritisnya sedemikian rupa sehingga berdampak pada pendekatan filosofis dan teoritis arsitektur terhadap buat pikiran arsitek.
Arsitektur dipahami sebagai suatu usaha filosofis yang intrinsic yang didasarkan pada estetika dan etika, sifat manusia dan juga pada elemen filsafat sosial dan politik. Arsitek, arsitek lanskap, dan desainer bertanggung jawab untuk menciptakan ruang dan membentuk dunia di mana manusia hidup dan berinteraksi.
Dengan melakukan hal tersebut, mereka mempromosikan sekaligus melemahkan nilai-nilai, pemahaman, dan cara hidup tertentu.
Arsitek muda, calon arsitek, mungkin tidak perlu mengutip karakterisasi utopis dari kota, semua predikat kota adalah nyaman huni, untuk menyatakan bahwa arsitektur berkaitan dengan realisasi material dari visi kebaikan budaya perkotaan yang diwujudkan dalam arsitekturnya. Perdebatan mengenai masa depan dan perencanaan kota, termasuk skema yang merehabilitasi atau menolak tradisi utopis, memperkuat peran penting ini.
Cakrawala baru, kemungkinan-kemungkinan spiritual untuk perluasan dan realisasi diri pandangan dunia yang mendasarinya, keseluruhan budaya. Semangat suatu zaman atau suatu bangsa, nilai hidup yang dominan. Maksud saya, filsafat dan arsitektur mempunyai tugas untuk menyembuhkan perpecahan pengetahuan dan perasaan, antara individu dan komunitas yang saling berinteraksi secara sosial.
Ini juga yang agaknya membuat dimensi arsitektur ekspresif yang ada dalam pikiran para arsitek, juga pendesain kota modern Ibu Kota Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur yang menyatakan bahwa arsitektur mempunyai dimensi ekspresif. Atau sebuah bangunan mampu mengekspresikan semangat suatu zaman adalah satu hal. Hal lainnya adalah politik arsitektur.
Wacana filosofis arsitektur modern adalah praktik arsitektur yang dapat ditelusuri Kant, John Ruskin (1849), lebih langsung ke Martin Heidegger (1951), Pevsner (1936), Giedion (1974), dan yang terbaru ke Roger Scruton (1979) dan Karsten Harries (1997). Pada abad ke-20, wacana berfokus pada upaya arsitek untuk mengartikulasikan identitas dan relevansi khususnya.
Pertanyaan utama yang mendasari semua filsuf dan ahli teori serta praktisi arsitektur sebelumnya adalah tentang apa filsafat arsitektur. Pada saat yang sama, kita juga dapat bertanya Bagaimana dan bagaimana seharusnya filsafat dihubungkan dengan arsitektur. Bahkan, kemudian keduanya menimbulkan pertanyaan. Apa itu arsitektur?
Pertanyaan. Apa itu arsitektur umumnya, pada bagaimana arsitektur harus dibedakan dari bangunan “sekadar” dan kedua, hubungannya dengan seni. Jawabannya sering kali bergantung pada bagaimana seseorang berusaha menyelaraskan atau memprioritaskan tiga elemen arsitektur Vitruvius: firmitas (daya tahan, keteguhan), utilitas (kenyamanan, komoditas, kepraktisan, fungsi), dan venustas (keindahan, kesenangan).
Mengingat perspektif Vitruvian, patut dipertanyakan apakah ketiga elemen ini dapat memungkinkan seseorang untuk menduga, apalagi menyimpulkan, prinsip-prinsip arsitektur mendasar yang mengatur setiap karya penting.
Mungkin bisa diragukan bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat diekstrapolasi dari pengamatan terhadap atribut material, fungsional atau estetika suatu bangunan berupa daya tahan, kenyamanan atau keindahannya.
Bagaimanapun, Sepuluh Buku Arsitektur karya Vitruvius (c. 15 SM), telah menjadi sumber paling umum yang digunakan oleh para ahli teori dan filsuf arsitektur yang berkaitan dengan mengartikulasikan hakikat arsitektur. (Spector (2001) menyusun bukunya berdasarkan tiga elemen Vitruvius.)
Saya sendiri tidak pernah berusaha memahami sejauh mana arsitektur dianggap sebagai seni telah lama diperdebatkan. Seseorang mungkin dapat memahami arsitektur sebagai sebuah keahlian yang berkaitan dengan pembuatan bangunan yang berguna.
Namun demikian, Vitruvius, seperti kebanyakan ahli teori arsitektur, memandang estetika (venustas) sebagai hal yang penting dalam arsitektur. Namun, jika arsitektur adalah sebuah seni, maka ia tidak biasa dan mungkin unik karena, tidak seperti seni lainnya (musik, patung, seni visual), utilitas (fungsi) juga dianggap sebagai bagian penting dari arsitektur.
Intinya memahami arsitektur sejak dahulu dan sekarang, bahwa Vitruvius, yang dulu sedang mengatakan dan saat ini menjadikan sebuah kenyataan bahwa filsafat arsitektur tidak dapat dipahami sebagai sebuah teori yang dipahami arsitek yang hanya berkutat pada penampilan indah, kuat dan fungsional. Bahkan modern sekali pun.(*)
*) Dr. Ir. Sunarto Sastrowardojo, M.Arch – Tenaga Ahli, Pemkab PPU, Direktur Rusa Foundation Indonesia