BALIKPAPAN – Konflik perkebunan di Kaltim tergolong tinggi, hingga Februari 2023 jumlah konflik usaha perkebunan di Kaltim sebanyak 48 kasus, di 42 perusahaan perkebunan yang terdiri dari 31 kasus lahan dan 17 kasus non lahan.
“Dari 48 kasus tersebut yang menjadi prioritas untuk ditangani oleh Pemerintah Provinsi bersama dengan Pemerintah Kabupaten sebanyak 14 kasus,” ungkap Kepala Dinas Perkebunan, Ahmad Muzakkir didampingi Kepala Bidang Usaha, Taufiq Kurrahman pada Bimbingan Teknis Mediasi Penanganan Konflik Usaha Perkebunan yang digelar selama 2 (dua) hari yaitu pada tanggal 11 hingga 12 Juli 2023.
Perkebunan di Kalimantan Timur memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional, antara lain dari aspek ekonomi, aspek sosial hingga aspek ekologis. Namun dalam pelaksanaannya, usaha perkebunan mengalami hambatan. Di antaranya adalah konflik perkebunan yang bahkan tergolong tinggi.
“Untuk meminimalisir konflik perkebunan yang terjadi, dibutuhkan penanganan khusus yang dapat menghasilkan win win solution,” ujar Ahmad Muzakkir.
Dijelaskan, jenis konflik lahan antara lain Konflik perusahaan dengan masyarakat, Tumpang tindih Ijin/peruntukan lahan, Okupasi lahan oleh masyarakat, Tuntutan masyarakat untuk pengembalian lahan, dan Ganti rugi lahan.
Sedangkan konflik non lahan antara lain tuntutan kebun plasma, penolakan oleh masyarakat, Pembagian hasil penjualan TBS dan Harga TBS kelapa sawit.
Konflik sektor perkebunan menjadi persoalan yang mendesak untuk segera dicarikan solusi, sebab penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum, investasi ekonomi, dan kondisi sosial yang semakin tidak menentu.
Dengan demikian dalam mencari alternatif penyelesaian konflik tersebut diusahakan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan, baik itu pihak perusahaan perkebunan, pemerintah, masyarakat, atau singkatnya harus menemukan solusi yang baik untuk semua pihak.
Selama ini, mekanisme penyelesaian konflik umumnya mengarah pada penyelesaian legal formal atau jalur hukum melalui pengadilan, yang berujung pada ketidakpuasan dari salah satu pihak yang dikalahkan karena putusan pengadilan.
“Namun seringkali membuat konflik berkepanjangan terjadi hingga menimbulkan kerugian materi dan immateri pada para pihak yang berkonflik,”tegasnya.
Salah satu hambatan dalam percepatan penyelesaian konflik adalah kurang tersedianya juru damai atau penengah (mediator) yang benar-benar memiliki pemahaman dan keterampilan untuk melaksanakan mediasi yang baik dan benar.
Proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses perundingan atau musyawarah, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak suatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. (bs/adv/kominfokaltim)