Nuzulul Qur’an dalam konteks ramadhan, kalau kita perhatikan dari sisi historisnya al-qur’an diturunkan pada tanggal 17 ramadhan di Gua Hira dengan wahyu pertama surah al-alaq yang berbunyi iqra bismirabbika al-ladzi khalaq jika diaartikan secara harfiah “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Baginda rasul diperintahkan supaya membaca, yakni membaca semua realitas, fenomena sosial masyarakat dan fenomena alam yang ada disekitarnya.
Tentu perintah ini bermakna agar rasulullah tidak menutup mata atau bersikap apatis terhadap keadaan masyarakatnya yang pada waktu itu adalah masyarakat jahiliyah, serba tertutup, tidak berkeadaban, tidak mengenal hukum, dan yang lebih memperihatikan lagi sangat merendahkan kaum perempuan.
Selama proses pewahyuan, al-qur’an dapat dipandang sebagai wacana yang hidup (living discourse). Dimana al-qur’an mengalami proses dialektis dalam menjawab segala persoalan yang hadir dalam kehidupan masyarakat Arab saat itu. Mulai dari mepertanyakan, menjawab, bahkan memprovokasi untuk berfikir kritis dan peka tentang hal yang terjadi disekeliling mereka.
Esensi Tauhid
Al-Qur’an sebagaimana yang diwahyukan ialah petunjuk (huda) dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kebatilan, sekaligus menjadi pendoman bagi umat manusia agar mengubah segala struktur masyarakat jahiliyah yang paganis menyebah berhala, menjadi masyarakat yang hanya beriman kepada Allah. Meninggalkan segala berhala-berhala secara totalitas dari politeisme menjadi monoteisme.
Masyarakat Arab Jahiliyah, tempat Rasulullah SAW. diutus, sebenarnya juga meyakini bahwa pencipta, pengatur, pemelihara, dan penguasa alam semesta ini hanyalah Allah. Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka belum menjadikan mereka sebagai makhluk berpredikat “muslim” dan “mukmin,” yakni makhluk yang berserah diri dan beriman secara total kepada Allah. Pengakuan tersebut belum menjadikan mereka sebagai muwahhid secara esensial, hubungan vertikal dengan Sang Khalik oleh sebab berhala-berhala mereka masih menjadi sesembahan selain Allah.
Kata-kata laa ilaha ilallah, merupakan bentuk pengakuan, pengikraran, dan penegasan bahwa tiada tuhan yang hak kecuali Allah. Tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia (mengesakan). Serta sebagai pembebas bagi manusia dari kebertuhanan yang serba relatif. Sebab jika tidak, pencipta hanya bersifat sementara, terbatas dan tidak bisa berkuasa atas seluruh ciptaan-Nya. Oleh sebab itu Islam sangat menolak keras segala bentuk pedeskripsian Ilahi dalam bentuk perwujudan manusia ataupun rupa kebendaan lainnya.
Tauhid adalah inti dari ajaran Islam, mengajarkan bagaimana berketuhanan secara benar dan juga menuntun manusia untuk berkemanusiaan dengan benar. Tauhid merupakan pesan yang sama yang diterima nabi Adam as ketika turun ke bumi. Kemudian pesan itu juga diterima oleh nabi Nuh as, Ibrahim as, Isa as hingga nabi terakhir Muhammad SAW. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta.
Tauhid juga membawa kepada prinsip keadilan. Karena diantara salah satu sifat Tuhan yaitu Maha Adil. Sebagai hamba, kita meyakini dengan seyakin-yakinnya Tuhan akan selalu berlaku adil kepada semua hamba-Nya, tanpa kecuali. Keadilan menjadi landasan dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu, sebagai manusia kita patut memperjuangkan keadilan, untuk semua manusia, khususnya mereka yang berada dalam kondisi marjinal dan teraniaya.
Seruan Keadilan
Keadilan menjadi kebutuhan mendasar dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aspek keadilan menjadi concren utama al-qur’an yang berusaha mengatasi segala bentuk kezaliman, dan berupaya mewujudkan keadilan sosial menuju masyarakat yang lebih adil.
Di dalam al-qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang mengangkat tema keadilan, hal ini dapat kita temui diantaranya pada QS. Al-Maidah ayat 8 menyebutkan: “ berbuat adillah kalian sebab keadilan mendekatkan kepada takwa”.
Hal serupa juga dapat kita jumpai disetiap akhir khotbah jum’at, dimana khatib selalu membacakan surah An-Nahl ayat 90: Inna Allaha ya’muru bi al-‘adli wa al-ihsan wa ita’i dzi al-qurba wa yanha ‘ani al fahsya’i wal al-munkari wa al-baghyi ya’idhukum la’allakum tadzakkarun (“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengabil pelajaran”.
Dari nukilan ayat tersebut sangatlah jelas, menegakkan keadilan sosial dan merintangi kemungkaran dan penindasan adalah inti dari semangat al-qur’an.
Jika kita sandingkan dua ayat di atas dengan kondisi hari ini tentu hal ini bertolak belakang. Kita menyaksikan betapa banyak ketidak adilan terjadi. Bahkan begitu sulitnya untuk mendapatkan keadilan. Apalagi kita sering melihat dengan jelas berbagai kasus besar bernuansa politis selama ini, tetapi amat sulit untuk diputuskan hukuman yang adil terhadap pelanggaran hukum tersebut.
Terutama kasus yang melibatkan penyelenggara negara. Bila tidak diviralkan terlebih dahulu maka tidak akan ditindak. Kalaupun ada penindakan, kesanya begitu lamban. Padahal al-qur’an syarat dengan semangat revolusioner, transformatif, dan mempunyai pemihakan yang tinggi terhadap kaum tertindas.
Kendatipun kita banyak menyaksikan dengan kasat mata praktek ketidak adilan dilintas sektor yang sampai saat ini terjadi berupa penggusuran, korupsi, kekerasan, intimidasi, teror, pelecehan, KKN, dan lain-lainnya. Kita senantiasa diperintahkan untuk bisa mencegah kemungkaran dan melakukan perbuatan yang ma’ruf.
Kita dianjurkan mencegah kemungkaran dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan. Dalam Islam, disebutkan bisa dengan kekuasaan, lisan atau ucapan dan juga dengan hati. Tiga tingkatan ini adalah tahapan-tahapan kita ketika melihat praktek ketidak adilan dan penindasan.
Jika kita tidak mampu karena tidak memiliki kekuasaan maka kita diperintahkan untuk melakukannya dengan protes, seperti demonstrasi, ujuk rasa atau petisi. Kalaupun tidak mampu juga keduanya maka kita kembalikan kepada hati. Dimana hati kita menolak, menentang, dan tidak berpihak pada kezhaliman. Inilah selemah-lemahnya iman.
Ketauhidan dan keadilan sosial memiliki korelasi dan relevansi yang kuat. Bertauhid yang benar dan penuh kesungguhan akan melahirkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang progresif, membuat manusia mampu menempatkan dirinnya dengan penuh kesadaran untuk berlaku adil yang telah diperintahkan oleh Ilahi melalui pewahyuan.
Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, berkeadaban, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau kelompok yang superior, dan sebagainya.
Walhasil peringatan Nuzulul Qur’an setiap tahunnya seyogiyanya kita jadikan sebagai momentum untuk mengkaji kembali makna kebertauhidan dan keadilan yang terdapat dalam al-qur’an sesuai dengan konteks kita saat ini. Sehingga makna yang transformatif dan emansipatoris dapat kita tangkap. Pembacaan kontekstual terhadap al-qur’an merupakan sesuatu yang penting. Karena al-qur’an juga pada awalnya tidak terlepas dari ruang dan waktu, mengalami proses sejarah, dan proses budaya yang sangat dialogis dengan kenyataan sosial yang terus berkembang.
Al-qur’an harus menjadi inspirasi dalam perubahan sosial dengan konteks kekinian dan menjadi pembebas dari kungkungan dan ketertindasan secara struktural dan sistemik (mustadh’afîn). Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh seorang teolog sosial, Ashgar Ali Engineer bahwa al-qur’an adalah traktat revolisioner yang pernah ada dibumi ini, karena misinya yang revolisioner. Al-qur’an membongkar struktur dan sistem sosial jahiliyah yang tiranik dan tidak adil, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun gender.
*Penulis Adalah Guru Dilingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda