Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A., Ph.D selaku Ketua Pusat Kajian Law and Social Justice (LSJ) FH UGM pernah mengatakan bahwa “Sejauh pembangunan itu tidak pernah menghargai prinsip dalam HAM yaitu Human Dignity (Pemartabatan Manusia) maka itu bukan pembangunan, namun itu penjajahan, penyingkiran dan eksploitasi”.
PSN bisa dikatakan sebagai program istimewa. Misalnya proyek itu akan mendapatkan kemudahan untuk pengadaan tanah, perizinan hingga pembebasan lahan. Secara nilai proyek juga sudah ditetapkan di atas Rp. 100 miliar. Dalam banyak kesempatan angkanya bisa bisa lebih dari hitungan miliar dan oleh karenanya melibatkan banyak partisipasi pemodal swasta. Contohnya Rempang ECO City yang nilainya menembus Rp. 381 triliun serta menggandeng pemodal dari dalam maupun luar negeri.
Persoalannya, tujuan PSN yang ingin mensejahterakan masyarakat tidak jarang malah berkebalikan eksekusinya ketika di lapangan. Ya, PSN justru menimbulkan konflik dengan warga. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sudah ada 73 konflik agraria yang bersinggungan PSN sepanjang 2020-2023. Pendeknya, penolakan warga terhadap PSN dibalas dengan kekerasan aparat.
Secara luas, PSN membuat penguasaan tanah di Indonesia menjadi semakin timpang. Ini bisa disebut sebagai monopoli tanah pada akhirnya karena penguasaan tanah dalam skala yang begitu dahsyat, sangat luas dan berbanding terbalik dengan situasi yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat kita terutama petani, masyarakat miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan yang dimana mereka berbanding terbalik situasi agrarianya.
Saat ini, tanah itu untuk sebesar besar kepentingan investasi skala besar. Jadi, bukan pasal 33 ayat 3 dan bukan juga UU Pokok agraria bahwa negara diberikan mandat untuk mengatur penguasaan tanah untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.
Menurut saya, kita tidak boleh melupakan bahwa tumpang tindih tanah ini tidak terjadi secara alamiah tetapi merupakan produk secara historis dari kebijakan Domein Verklaring yang diperkenalkan oleh Belanda di 1870. Dimana kolonial Belanda mendeklarasikan bahwa tanah yang tidak mampu ditujukan kepemilikan nya adalah diklaim sebagai tanah negara. Ternyata di negara pasca-kolonial sesudah sekian puluh tahun kita merdeka, watak dari pemerintah kolonial masih tetap kita warisi yang dimana kita tidak saja mewariskan tanah yang di klaim oleh pemerintah kolonial tetapi juga mewariskan watak kolonial untuk mengusahakan tanah tanah tersebut dalam proyek pertumbuhan ekonomi.
Menilik pembangunan PSN ECO City Rempang, terdapat banyak sekali problematika dan permasalahan mendasar yang justru sama sekali tidak di lirik, diantaranya;
- Proyek ECO City Rempang itu baik statusnya setelah mendapat Investasi dimana sebelumnya bukan menjadi PSN pada 28 Agustus 2023;
- Implikasinya adalah pengosongan. Hal ini penting mengapa? karena sejatinya ini bertentangan dengan konstitusi. Perlu diingat bahwa Right to Development (RTD) bukan hanya berbicara tentang individu tetapi kolektiva yang memiliki hak. Perhatikan bahwa cara pandang hukum kita itu dominasi states, padahal hukum dalam konteks lokal itu exist di masyarakat yang bersistem plural.
- Politik penarasian dengan cara soft. Perlu di garis bawahi, konsep dan latar belakang Right to Development diantaranya;
– Problem Kolektiva yang harus diakui dalam HAM;
– Terlampau banyak kasus yang menyingkirkan hak hak masyarakat karena kolonialisme, imperialisme dan proyek proyek masif yang menggusur mereka;
– Terlalu banyak pelanggaran HAM yang sifatnya eksesif.
Saya sependapat, dengan pendapat yang menyatakan bahwa “ada kaitan erat antara UU Cipta Kerja dengan masifnya PSN yang menabrak prinsip dasar dari Right to Development”. Timbul pertanyaan, siapakah yang diutamakan ketika ada rencana proyek strategi nasional?.
Prinsip yang perlu dipikirkan apabila Right to development sebagai konsep dan pendekatan kunci adalah:
- Human Right Based to Approach;
- Dimensi nasional dan internasional;
- People Centered Development;
- Participation.
Berkaitan dengan hal tersebut, negara sudah sejatinya berkewajiban untuk;
- Merumuskan kebijakan pembangunan nasional dengan tujuan mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi yang aktif, bebas, berkeadilan dan distribusi manfaat yang dihasilkannya; dan
- Negara harus mengambil tindakan tegas untuk menghilangkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan mengakui hak dasar masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri.
Anggota Komisi VI DPR RI Lubuk Nur Hamidah menegaskan bahwa Pulau Rempang yang terletak di Kepulauan Riau tersebut memiliki banyak akar sejarah yang harus dihormati dan diperhatikan dan pelaksanaan pembangunan.
Pendapat ini juga menjadi poin penting karena perlu disadari pembangunan yang menjadi bagian dari Proyek Strategi Nasional (PSN) tidak boleh hanya berfokus pada perkembangan infrastruktur saja tetapi juga harus berfokus pada kesejahteraan masyarakat.
Pulau Rempang bukan hanya sekedar tempat saja tetapi sebuah wilayah yang kaya akan sejarah, tradisi dan budaya yang masih sangat melekat pada identifikasi warga setempat selama ratusan tahun. Ini penting karena merupakan akar sejarah yang harus dihormati dan dipertahankan dalam setiap langkah pembangunan. Pemerintah sudah seharusnya tidak hanya sekedar melihat potensi ekonomi dari proyek proyek besar tetapi juga harus melihat bagaimana proyek proyek besar tersebut mempengaruhi bahkan bisa mengubah identitas budaya dan ketradisionalan suatu daerah.
Harapan besar bagi pemerintah, supaya pemerintah tidak hanya menganggap proyek proyek besar ini hanya sebagian kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi semata tetapi juga sebagai kesempatan untuk menciptakan harmoni antara “pembangunan dan kepentingan rakyat” seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga pelestarian budaya lokal. (*)