Peristiwa Sumpah pemuda terukir indah dalam sejarah bangsa Indonesia tahun 1928. Kisah heroik saat banyak anak muda Indonesia berkumpul untuk menyatukan langkah, bersumpah untuk negerinya yang dipelopori oleh tokoh PPPI ( perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Sumpah pemuda mengandung makna agar pemuda-pemudi Indonesia mencintai tanah air, menjaga dan merawat persatuan kita sebagai sebuah bangsa serta menjunjung penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah komitmen bersama untuk bersatu melawan penjajah, memerangi keterbelakangan dan kemiskinan. Hasilnya jelas terukur pada kemampuan rakyat Indonesia membebaskan negeri dari penjajahan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh proklamator, Soekarno dan Hatta bertemu pertama kalinya pada tahun 1938, sepuluh tahun setelah peristiwa Sumpah Pemuda.
Pada saat kongres Pemuda 28 Oktober 1928 juga pertama kali dikumandangkannya lagu Indonesia Raya ciptaan WR. Supratman. “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya Untuk Indonesia Raya”….adalah bagian potongan syair lagu kebangsaan Indonesia. Setiap menyanyikan potongan bait Lagu tersebut, selalu muncul pertanyaan dalam hati apakah negeri yang telah berusia 78 tahun ini telah mampu membangun jiwa dan raga rakyatnya ? Bahkan usia lagu kebangsaan ini lebih tua sejak pertama kali dikumandangkan yakni 95 tahun.
Refleksi 95 tahun Sumpah pemuda
“Negeri ini sedang tidak baik-baik saja,” begitu ungkapan seorang kawan yang mengungkapkan kesedihannya. Korupsi semakin marak saja, bahkan lembaga yang bertugas memberantasnya sedang dalam penyelidikan dugaan indikasi suap. Kekerasan dan kriminalitas tiap hari sering muncul di berita media. Ada ayah tega membunuh istri dan anak kandungnya karena urusan harta. Ada remaja yang dibunuh teman sekolahnya karena iri dan ingin memiliki motor baru milik temannya. Ada siswa yang menantang gurunya berkelahi, karena tak mau ditegur cara berpakaiannya yang tidak rapi. Bahkan ada orang tua yang melaporkan guru anaknya ke polisi hanya karena tak berkenan ditegur karena tak sholat yang dianggap urusan pribadi. Marak pula mahasiswa yang bunuh diri atau pun dibunuh teman sendiri.
Negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak Karakter mulia yang pudar. Kejujuran, rasa cinta kebangsaan, sopan santun, tanggung jawab serta mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini juga menjadi refleksi penting bagi banyak tokoh pemimpin yang punya peran besar dalam negeri ini apakah telah bersikap mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan?
Setelah 95 tahun peristiwa Sumpah pemuda, selayaknya pemimpin dan rakyat negeri ini introspeksi diri. Lebih dari 365 tahun negeri ini dijajah lalu merdeka, mestinya kita mampu bangkit dari keterpurukan, mampu membangun jiwa dan fisik untuk Indonesia Raya yang bermartabat tinggi dalam peradaban dunia.
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya…
Potongan syair kumandang lagu Indonesia Raya itu mengisyaratkan agar kita memperhatikan pembangunan pendidikan yang mendahulukan pendidikan jiwa dibanding pendidikan fisik. Matangnya jiwa mengantarkan pada kedewasan dalam berpikir dan bertindak. Sungguh, sejatinya pendidikan tak boleh sekedar menghasilkan manusia cerdas, terdidik dengan ilmu pengetahuan tinggi namun jiwanya kerdil dan tak dewasa.
Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara seperti dikutip Gede Raka dalam Pendidikan karakter di sekolah (2011) mengungkapkan bahwa Pengetahuan, kepandaian janganlah dianggap maksud dan tujuan, tetapi alat, pekakas, lain tidak. Bunganya, yang kelak akan jadi buah, itulah yang harus kita utamakan. Buahnya pendidikan, yaitu matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci serta manfaat bagi orang lain.”
Saat negeri ini sedang menata diri dalam usia yang tidak muda lagi, ada harapan besar bahwa para tokoh negara yang sedang bersiap laga dalam Pemilu 2024 adalah mereka yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Sprit Sumpah Pemuda bahwa kita bertanah air dan bangsa yang satu yaitu Indonesia harusnya tetap selalu ada, tertanam dalam jiwa. (IR)