Kurikulum dalam pendidikan merupakan salah satu komponen atau bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dengan baik. Oleh karena itu, prinsip dasar kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan tepat sasaran ke peserta didik.
Dengan tolok ukur hasil pencapaian pembelajaran peserta didik dan mendorong pendidik untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya baik dalam kelas maupun pembelajaran di luar kelas.
Muhaimin, (2009: 1) menyatakan bahwa kata “Kurikulum” berasal dari bahasa Yunani currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish.
Bertolak pada asumsi tersebut nampaknya manajemen kurikulum sangat berpengaruh kepada fungsi sekolah. Kurikulum bukan hanya mengatur perangkat kegiatan belajar mengajar seperti yang pernah dilakukan pendidik sebelum akreditasi.
Sering terjadi ketika penulis mengajar di berbagai satuan pendidikan, biasanya perangkat mengajar akan nampak jika diperlukan sekolah buat persiapan akreditasi dan kenaikkan pangkat (bagi PNS) dan sebagainya jika diperlukan.
Sekolah ibarat sebuah warung atau toko yang memiliki pelayanan dan suguhan menu yang sangat menarik.
Namun, perlu kita pahami bersama, kurikulum pada umumnya hanya terfokus pada mata pelajaran. Semestinya ada kurikulum khusus seperti di warung makan, ada kuliner makanan spesial yang menjadi favorit pembeli warung makan tersebut.
Penulis mencoba mengasumsikan kurikulum seperti menu makanan, dimana di dalamnya terdapat beragam menu yang dapat dipilih sesuai selera siswa.
Harapan ini menggambarkan kurikulum itu bisa sejalan dengan kegiatan-kegiatan sekolah seperti;
1. Peningkatan skill peserta didik, contohnya mata pelajaran yang dapat dikolaborasikan antara pengetahuan umum dengan agama seperti kegiatan Pidato (Muhadhoroh). Siswa terlebih dulu dibekali teknik berpidato serta kepenulisan sebagaimana kaedah Bahasa Indonesia. Sedangkan isi materinya diambil dari pelajaran Pendidikan Agama Islam.
2. Latihan berbicara bahasa Inggris (conversetion). Kegiatan ini bisa dilaksanakan setiap hari dimulai hari Senin hingga Sabtu diberikan 5 kosa kata bahasa Inggris dan pada pelaksanaan prakteknya hari tertentu diadakan dialog berbaris saling berhadapan.
Jika kegiatan ini konsisten peserta didik akan kaya dengan kosa kata dan indikatornya dari dialog akan ada kepercayaan berbicara bahasa inggris, sehingga pada saat berpidato mereka secara bertahap bisa menggunakannya sesuai dengan materi yang disampaikannya.
Kegiatan tersebut pernah dituliskan oleh salah satu tokoh praktisi pendidikan Kadir Djaelani (pada bukunya Konsepsi Pendidikan Agama Islam, 1997). Pada bagian pengantar buku ini disebutkan bahwa ada tiga komponen yang pernah dirumuskan dan ditawarkan oleh penulis yaitu keterpaduan proses, penyelenggara, dan keterpaduan materi. Yang lebih utama penulis kutip dari pemikiran beliau keterpaduan materi, selain itu jika dimasa beliau perpustakaan dirasakan sangat kurang, di era saat ini yang kurang peminat membacanya, sehingga buku-buku dari penulis klasik menjadi tumpukan yang tak berguna, bayangkan saja rumusan para praktisi pendidikan sudah ada semenjak tahun 1997, hanya saja kurang konsistennya para praktisi yang mewujudkannya mungkin saja adanya kepentingan para elit politik?, wajar saja kalau ada pernyataan ”ganti menteri pendidikan ganti kurikulum”.
Inilah menjadi dilema para akademisi dan para pendidik yang selalu mengikuti sistem yang sebenarnya sudah ada semenjak dulu.
Dari pengembangan mutu sekolah, penulis menggambarkan manajemen pendidikan seperti sebuah mesin yang siap mencetak, serta memproduksi.
Penulis menganalogikan sebagai mesin yang canggih dan praktis untuk mencetak apapun bahan bakunya maka rasa tidak akan pernah hilang.
Misalkan saja ingin membuat roti, jika bahan bakunya terigu maka ia bisa saja menjadi roti gandum, jika bahan bakunya singkong maka ia memiliki rasa singkong.
Sekolah yang kaya dengan prestasi, tidak lepas dari terobosan seorang pemimpin dan para pendidik dalam melakukan berbagai kegiatan di sekolah. Kegiatan merupakan suatu bentuk perubahan yang terimplementasi dari nilai-nilai karakter seorang anak, agar mereka bukan hanya pandai secara kognitif tetapi pandai secara afektik dan psikomotoriknya pada indikator pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Merujuk pada Nabi Muhammad Saw yakni berdakwah untuk menyempurnakan akhlaq, adab dan moral, budi pekerti, pondasi demikianlah sebagai bekal peserta didik agar mampu membentengi dari sikap yang tercela.
Seiring tanggapan di atas seorang pemimpin di sekolah, dalam hal ini kepala sekolah harus mampu menjadi inisiator atau manajer pada peningkatan mutu sekolah. Sebagaimana slogan yang sering disampaikan oleh menteri Pendidikan Merdeka Belajar.
Indikator keberhasilan sekolah tak lepas dari sistem yang berlaku pada pelaksanaan program sekolah yang telah ditetapkan oleh kepala sekolah bersama dewan guru.
Jika mengingat praktek pelaksanaan Kurikulum 2013 terhitung 2018 sampai tahun 2020 pada prinsipnya lebih mengedepankan karakter peserta didik, yang salah satunya menurut penulis terletak pada penekanannya kepada minat membaca, hanya saja mungkin pada pelaksanaannya masih proses penyesuaian dengan kondisi dan budaya setempat. Karena tidak semua sekolah yang dapat mewujudkannya, bisa saja dikarenakan sarana prasarana yang tidak mendukung dan letak geografis yang tidak sesuai, serta latar ekonomi wali peserta didik dibawah standar kebutuhan.
Pada tulisan pemula kali ini, penulis mencoba menguraikan kembali fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI) yang jauh sekali telah disinggung oleh Erik Budianto (Jurnal Progresiva, Vol 4 Nomor 1/Agustus: 2010), kondisi pendidikan agama Islam itu sendiri yang sampai saat ini masih belum mampu menunjukkan signifikansi peranannya, khususnya dalam pembentukan kepribadian (karakter).
Sebagaimana yang disinyalir oleh Erik Budianto dalam bukunya (Muhaimin:2009) “pembelajaran agama di sekolah sejauh ini masih menyentuh pada aspek knowing (pengetahuan tentang ajaran dan nilai-nilai agama) dan doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui), belum sampai pada aspek being (bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama)”.
Ia juga menyinggung pendidikan agama belum mampu mengubah pengetahuan yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai”. Sebagai guru PAI untuk melakukan suatu gagasan yang terkait dengan mutu manajemen pendidikan di sekolah umum pada pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada kurikulum, sangat penting untuk dirumuskan pada manajemen sekolah yaitu kolaborasi kurikulum antara pengetahuan umum dan agama pada pelaksanaan kegiatan sekolah yang telah ditetapkan kepala sekolah.
Pada visi dan misi sekolah, sebagai contoh, sering ditemukan visi seperti mengintegrasikan Iman dan Iptek, visi ini sangat bagus namun faktanya memadukan iptek dan imtaq tidak semudah menuliskannya dalam visi tersebut, di lapangan belum dapat terwujudkan tentu dengan berbagai problemnya, salah satunya karena belum adanya program yang mengharuskan guru pengetahuan umum untuk memahami unsur keagamaannya.
Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan pada kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Selain itu akan berakibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Slogan merdeka belajar atau guru merdeka yang sering digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan para instruktur pendidikan semoga bisa terus dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik sehingga pendidikan benar-benar mampu melahirkan generasi-generasai emas yang tidak hanya memiliki kemampuan pengetahuan sesuai keahliannya melainkan juga memiliki karakter baik yang diwarnai dengan keimanan.*
*) Restu Aulia,S.Pd.I adalah seorang Guru PAI SMPN Negeri 2 Pasir Belengkong