SAMARINDA – Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman menggelar kegiatan Bedah Buku “Kearifan dan Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) pada Sistem Perladangan Multi-Etnis” karya Dr. Ir. Ndan Imang, MP, yang juga staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman di Gedung Prof. Rachmad Hernadi (Gedung Bundar) Lantai 2, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, Gunung Kelua, Samarinda, Rabu (1/11/2023).
Menghadirkan pembahas Dr. Thomas Hutauruk, S.P., M.Si – Ketua Ika Agribisnis Faperta Unmul, Doni Darmasetiadi, S.I.P., M.Sc. (dosen FPIK Unmul), Moderator Prof. Dr.Ir. H.M.Aswin, M.M (dosen Faperta Unmul) dan dihadiri ratusan akademisi, mahasiswa, alumni Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman baik secara luring maupun during fasilitas zoom meeting.
Ndan Imang mengatakan buku ini mencoba menggali dan mengkompilasi Kearifan Lokal (Local Wisdoms) dan Pengetahuan Lokal (Local Knowledge/aboriginal knowledge) dalam sistem perladangan dari berbagai etnis di Indonesia bahkan juga dari Negara lain berkaitan dengan sistem perladangan.
“Beberapa topik yang coba disajikan dalam buku ini adalah Pengetahuan dan Kearifan lokal dalam sistem perladangan, mulai dari Tahap mencari lahan, menebas, menebang, membakar, menugal, pemeliharaan tanaman, panen dan cara-cara petani meningkatkan kesuburan lahan secara tradisional,” paparnya.
Selain itu, juga ditampilkan berbagai kepercayaan atau religi dalam berladang yang diyakini kebenarannya oleh petani, namun juga menjadi pertanyaan jika dilihat dari sudut pandang science sehingga perlu sikap bijaksana menghadapi perbedaan.
“Melalui buku ini saya berharap dapat memberikan jawaban atas beberapa stigma negatif terhadap sistem perladangan,” harap alumni Faperta Unmul ini.
Dijelaskan, sistem pertanian dengan menebas, menebang, membakar adalah kegiatan khas dalam sistem perladangan karena tahapan-tahapan tersebut tidak dilakukan pada sistem pertanian lainnya.
Pada setiap tahapan tersebut, peladang berbagai etnis berbeda memiliki berbagai jenis pengetahuan, kepercayaan, atau kearifan lokal dalam pelaksanaannya. Tahapan “membakar” sendiri menjadi sorotan, karena justru pada tahap ini paling krusial yang memberi stigma negatif pada sistem perladangan dari masyarakat khususnya pemerhati lingkungan, conservationist, dan juga masyarakat yang belum memahami sebenarnya bagaimana proses pembakaran ladang yang aman.
“Proses kegiatan membakar ladang itu cepat sekali, memakan waktu paling lama sekitar dua jam. Apabila tepat dimulai pukul 12 tengah hari, maka sekitar pukul 14.00 atau pukul dua petang, usailah tugas api menghanguskan dedaunan, ranting-ranting dan pohon (karena sudah kering) lingkup ladang-ladang, tanpa ada kebakaran menjalar ke kawasan di luar ladang yang dibakar tersebut (Bahasa Dayak Ngaju, api yang melalar membakar hutan itu dinamakan seha),” ujar Ndang Imang yang juga beretnis Dayak ini.
Selain itu, di Kalimantan salah satu kearifann lokal yang dimiliki yakni menugal. Nugal/ menugal ini merupakan tradisi menanam padi, yang masih terus dilakukan sampai sekarang. Nugal sendiri dilakukan secara gorong royong oleh masyarakat desa atau keluarga dekat. Masyarakat berkumpul untuk membersihkan lahan dengan menebas dan juga membakar lahan yang akan di tanami padi nantinya, abu dari hasil pembakaran lahan itu biasanya akan digunakan sebagai pupuk alami.
Nugal sendiri biasanya dilakukan beberapa hari. Sebelum nugal masyarakat akan berdoa kepada leluhur- leluhur agar proses penanaman padi dapat berjalan dengan baik dan juga padi yang ditanami mendapatkan hasil yang baik dan tidak terserang hama.
Alat yang digunakan dalam proses nugal ini terbilang sederhana yakni untuk melubangi tanah yang nantinya akan diisi oleh bibit padi digunakan batang kayu yang tidak telalu besar yang nantinya akan ditancapkan ke tanah dan kemudian diisi dengan bibit.
Sementara itu, Prof. Aswin saat sesi tanya jawab, membahas pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan sistem ladang berpindah ini akankah sustainable atau sesuai dengan pertanian berkelanjutan.
Sedangkan Thomas Hutauruk menyampaikan masyarakat lokal tidak akan merusak lahan, tetapi orang luar sebagai pendatang yang merusak lahan karena tidak memahami kearifan lokal setempat.
Selain itu, menurutnya dengan sistem perladangan kearifan lokal ini akan membawa manfaat dari sisi ekonomi, dengan membuat pariwisata dari kearifan lokal yang ada.
Sementara itu, Doni Darmasetiadi menyampaikan tidak banyak buku yang membahas tentang perladangan multi-etnis, tetapi lebih banyak buku yang membahas tentang upacara pembukaan lahannya tetapi masih dibahas hanya per etnis saja.
Perubahan mindset masyarakat dari sistem berkearifan lokal menjadi modern, buku ini sangat baik apalagi jika dibaca oleh pemerintah dan publik untuk kembali kepada kearifan lokal yang justru menyelamatkan hutan Kalimantan.
“Kearifan lokal ladang berpindah itu merupakan identitas bagi masyarakat adat lokal Kalimantan, jangan sampai tergerus oleh urbanisasi, khususnya nanti jika IKN dikembangkan,” ucap Doni.
Kearifan lokal ladang berpindah ini merupakan warisan budaya yang tetap harus dipertahankan, harus dikelola dengan baik dan benar akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Sarwono – Pengurus Ika Faperta Unmul mengatakan keberadaan Ibukota Negara Nusantara (IKN) tidak akan menjadi ancaman bagi kearifan lokal, karena luasnya juga tidak terlalu besar.
“Beberapa hutan memang diberikan untuk pertanian dan peternakan yang legal secara hukum, jadi tidak perlu dikhawatirkan pada pengembangan IKN,” ungkapnya.
Ia jelaskan sistem perladangan berpindah ini jika diterapkan untuk menjaga ketahanan pangan tidak mungkin dilakukan, tetapi untuk mempertahan kearifan lokal sangat baik.
Di Akhir sesi, Ndan Imang pun menjawab pertanyaan peserta bedah buku, dengan menjelaskan adanya nilai ekonominya dari kearifan lokal, secara khusus banyak wisatawan asing yang tertarik mempelajari kearifan lokal, sehingga dapat menjadi manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Terkait ada undang-undang yang mengatur mengenai pembakaran hutan, Ndan Imang mengatakan bunyi pasalnya adalah membakar lahan dan hutan, tetapi tidak disebutkan kecuali untuk ladang, “hal ini terjadi karena hukum atau undang-undang ini produk Jakarta, tidak paham dengan konteks masyarakat adat di Kalimantan,” katanya.
Ia pun berharap tulisan dan penelitian ini bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan lagi sistem padi ladang ini bisa dijual di pasar lokal, daripada mendatangkan dari luar daerah, karena kemungkinan rusaknya besar kalau padi didatangkan dari luar daerah.
Buku setebal 77 halaman ini, ia didedikasikan kepada semua petani ladang, dan merupakan bentuk rasa kepedulian terhadap pertanian ladang sebagai bagian sangat erat dengan budaya dan cara hidup (way of life) dari etnis yang tetap mencintai sistem perladangan. (hel)