PERTANDA apa terjadi di Kaltim? Tiba-tiba banjir besar melanda wilayah Kabupaten Mahakam Hulu (Mahulu) pekan lalu. Dari Mahulu merembes ke Kutai Barat dan Senin kemarin, air juga sempat menggenangi sebagian Kota Balikpapan.
Sebagian wilayah Kaltim memang tidak bebas dengan urusan banjir. Apalagi kalau hujannya mencurahkan air dengan debit besar. Tapi biasanya banjir yang terjadi dalam skala sedang atau kecil. Waktunya pun tidak terlalu lama. Tapi apa yang kita saksikan di Mahulu, rasanya menjadi sejarah pertama ada bencana alam sebesar itu.
Sebagian warga khawatir banjir besar ini akan terulang kembali di masa mendatang. Ada yang menduga akibat pembukaan lahan dan hutan yang intensif untuk pertambangan, yang menyebabkan air hujan tak bisa diserap lagi. Begitu curah hujan turun sangat tinggi, maka air Mahakam meluap tanpa kendali.
Selain banyak di-share di media sosial, banjir Mahulu juga ramai diberitakan di televisi. “Prayer for Mahulu.” Maklum sangat mencekam. Ribuan rumah, mobil dan sepeda motor, kantor, area pertanian serta fasilitas umum seperti jalan semua terendam. Air Sungai Mahakam meluap sampai ketinggian 4 meter. Akibatnya rumah dan kantor hanya kelihatan atapnya saja. Diperkirakan 70 persen wilayah Mahulu tenggelam dan lumpuh.
Dari laporan yang ada, banjir yang berawal sejak Senin (13/5) meluas di empat kecamatan. Mulai Kecamatan Long Bagun, Long Hubung, Long Pahangai, dan Long Apari. Long Bagun itu adalah wilayah ibu kota Kabupaten Mahulu.
Sejumlah kantor Pemkab Mahulu tinggal atapnya saja yang terlihat. Termasuk kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Eh, mau memberikan bantuan, malah kantor sendiri terendam. “Ya mau bagaimana lagi, namanya juga musibah,” ujar Kepala BPBD Mahulu Agus Darmawan setengah pasrah.
Di mana Mahulu? Saya sendiri sudah lama tidak ke sana. Ini kabupaten termuda dan paling ujung dari Sungai Mahakam. Berbatasan langsung dengan Kalbar dan Serawak, Malaysia Timur. Kita perlu waktu lebih sehari menuju Mahulu jika naik kapal kayu berlantai dua dan dilanjutkan longboat.
Mahulu sangat luas. Sekitar 15.315 kilometer persegi. Berarti 30 kali luas Balikpapan. Tapi penduduknya hanya 38 ribu jiwa. Sebagian besar mereka dari suku Dayak. Terkenal dengan tari Hudoq-nya. Tari eksklusif. Wajah penarinya ditutupi topeng ikonik dengan mengenakan kostum daun pisang yang dibuat jadi baju rumbai.
Bupatinya sekarang Bonifasius Belawan Geh didampingi Yohanes Avun sebagai wakil. Asli warga setempat. Mereka menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari sampai 29 Mei. Yang menarik motto kabupaten ini. “Urip kerimaan.” Itu Bahasa Dayak, yang artinya “Hidup dengan Rezeki Melimpah.”
Setelah Mahulu, banjir juga terjadi di Kutai Barat (Kubar) sejak Kamis (16/5). Ada dua kecamatan dengan 11 kampung yang tergenang. Yaitu di Kecamatan Tering dengan 7 kampung dan di Kecamatan Melak dengan 4 kampung.
“Di Mahulu air mulai surut, jadi sebagian tim gabungan kita geser ke Kubar karena debit air di Tering dan Melak mencapai 1 hingga 2 meter,” kata Kepala Basarnas Kaltim Dody Setiawan dalam rilisnya.
Selain di dua kecamatan itu, air juga masuk ke wilayah Kecamatan Barong Tongkok dan Long Iram. Jadi totalnya ada 24 kampung/kelurahan yang tergenang.
Dari data yang terungkap, ada 308 rumah terendam. Selain itu 24 kantor, 31 sekolah, 11 fasilitas kesehatan, 2 fasilitas umum dan 24 rumah ibadah juga . “Jadi 4.660 KK dengan 15.416 jiwa yang terdampak,” jelas Dody.
Hujan deras juga terjadi di Balikpapan, Senin (20/5) pagi. Sebagian besar warga bersyukur karena sudah berbulan tersiksa kelangkaan air bersih. PDAM terseok, jadi sorotan warga. Mudah-mudahan Waduk Manggar dan Teritip terisi penuh. Jadi airnya bisa disedot 100 persen, tidak seperti sekarang hanya separuh saja.
Tapi di beberapa titik terjadi banjir dan longsor. Kawasan Beller sudah jadi langganan. Juga Gunung Kawi, Kampung Timur dan lainnya. Yang mengejutkan kawasan elite Grand City sebagian ikut terendam, terutama jalan utamanya. Itu pertanda sistem drainase dan buangan airnya belum efektif. Termasuk juga bendalinya.
Seorang siswi SMK Nusantara bernama Grace nyaris celaka. Dia terpeleset dan langsung terseret arus deras di kawasan Jl Gurinda RT 41, Kelurahan Gunung Samarinda, Balikpapan Utara. Syukur ada warga yang melihat dan memberikan pertolongan. Dia dilarikan ke Puskesmas.
Jika curah hujan masih tinggi di wilayah Kaltim, banjir masih mungkin menyusul di tempat lain termasuk di wilayah Kukar, Samarinda, Kutim dan daerah lainnya. “Air di Mahulu sudah mulai surut, tetapi dikhawatirkan melebar ke Kukar dan Samarinda,” kata Pj Gubernur Kaltim Akmal Malik.
LEMAHNYA MITIGASI
Ada yang menilai penanganan banjir di wilayah pedalaman Mahakam sangat lemah. Pemda dan masyarakat setempat menganggap hal seperti itu sudah langganan tahunan, jadi antisipasi biasa-biasa saja. Padahal sangat mungkin karakter banjirnya berubah semakin berat karena terjadinya perubahan alam dan eksploitasi lingkungan yang berlebihan.
Pj Gubernur menerima laporan lain dari masyarakat. Mahulu banjir besar bukan dari luapan Mahakam. Akan tetapi air datang melimpah dari Sungai Boh, yang hulunya ada di wilayah Malaysia dan Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara).
Akmal juga meminta Pemkab Mahulu berkoordinasi dengan BPBD Kaltim untuk mengadakan early warning system atau sistem peringatan dini untuk dapat mendeteksi bencana sejak dini.
“Kita memang tidak bisa melawan alam. Tapi kita bisa meminimalisir dampak bencana. Karena itu kita memerlukan early warning system untuk memberikan peringatan kepada warga, sehingga langkah penyelamatan bisa dilakukan lebih efektif,” tandasnya.
Anggota DPR RI dari dapil Kaltim, Irwan Pecho mengkritik minimnya mitigasi oleh pemerintah daerah dalam mengendalikan banjir. Padahal banjir yang terjadi adalah siklus tahunan. “Sejak dulu sampai sekarang mereka cenderung pasrah saja dan hanya fokus pada penanganan pascabanjir belaka,” tandasnya.
Irwan mengusulkan ke depan harus ada langkah mitigasi yang terencana dengan baik. Mulai soal diterapkannya sistem peringatan dini, penyiapan zonasi areal banjir dan konstruksi titik-titik lokasi evakuasi sampai sosialisasi dan regulasi untuk mengaktifkan kembali kearifan lokal seperti rumah panggung yang sudah terbukti aman dari genangan banjir.
Anggota Komisi V ini juga mengusulkan perlunya dibangun bendungan pada anak Sungai Boh, yang bermuara ke Sungai Mahakam. Ini sejalan dengan rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, yang dapat berfungsi sebagai reduksi banjir.
Selain itu perlu dilakukan peninggian elevasi jalan-jalan poros yang terputus pada saat genangan banjir yang baru lalu. Kemudian kita juga harus melakukan relokasi permukiman dan pembangunan jalur hijau sepanjang bantaran Sungai yang ada permukiman.
Ada pandangan menarik dari Stevanus Nalendra Jati. Dia adalah peneliti dinamika Sungai Mahakam dari Universitas Sriwijaya, yang kini tengah mengikuti studi doktoral di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Seperti diberitakan TEMPO.CO, Selasa (21/5), Nalendra berpandangan seharusnya secara historis Mahulu tak begitu akrab dengan peristiwa banjir apalagi banjir besar. Karena Mahulu adalah daerah dengan topografi pegunungan. Tepatnya, topografi Tinggian Kuching yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia.
Selain itu, selama ini Mahulu berfungsi menjadi daerah tangkapan air. Aliran Sungai Mahakam di wilayah Mahulu juga relatif lurus dan tegas, jadi seharusnya tidak terjadi bencana banjir besar.
Dia menduga terjadi curah hujan yang sangat ekstrem berkombinasi dengan tutupan permukaan yang telah berubah. Apalagi di Mahulu terdapat praktik penambangan emas dan pembukaan hutan serta adanya pembangunan pengembangan wilayah. Bisa jadi faktor ini yang mendorong terjadinya banjir besar, yang terbilang baru pertama kali terjadi dalam sejarah bencana di Kaltim.
Amir, seorang warga bantaran Karang Mumus Samarinda waswas jika banjir besar juga terjadi di kotanya. “Mudah-mudahan tidak, karena sangat mengerikan jika kita melihat apa yang terjadi di Mahulu,” jelasnya. Kalau hujan kecil dia oke-oke saja. Itu sangat diperlukan untuk mendinginkan suasana Pilgub Kaltim dan Pilwali Samarinda yang semakin memanas.(*)