Hukum acara peradilan agama di Indonesia, mengatur tata cara penyelesaian perkara di pengadilan agama, hal ini memegang peran penting dalam menjamin keadilan bagi masyarakat. Di satu sisi, hukum acara ini bertujuan untuk mencapai keadilan substantif, yaitu keadilan yang benar-benar mengakomodasi hak-hak pihak yang bersengketa. Tetapi di sisi lain, hukum acara juga harus menjamin kelancaran proses peradilan, yaitu dengan prosedur yang efisien dan adil. Maka Pertanyaan yang timbul adalah, apakah peradilan agama kita sudah cukup efektif dalam menyeimbangkan dua aspek tersebut?
Mari kita telaah lebih jauh, Keadilan substantif dalam konteks peradilan agama adalah tercapainya putusan yang benar, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Sebagai contoh, dalam perkara sengketa warisan, perceraian, atau pembagian harta gono-gini, peradilan agama harus mampu menciptakan keputusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan yang ada dalam agama Islam, tanpa mengabaikan hak-hak pihak yang terlibat.
Namun, pencapaian keadilan substantif ini tidak selalu mudah. Terkadang, pemahaman yang berbeda tentang hukum agama antara hakim dan pihak-pihak yang berperkara dapat menjadi suatu kendala yang sering kali terjadi. Hakim di peradilan agama sering kali dihadapkan pada tantangan dalam memutuskan perkara dengan pendekatan yang sesuai dengan syariat Islam, namun tetap harus menjamin bahwa keputusan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.
Selain itu, kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai prinsip-prinsip syariah di kalangan hakim, atau perbedaan penafsiran tentang hukum Islam, itulah yang menyebabkan keputusan yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan keadilan substantif. Ini bisa memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap peradilan agama, karena merasa keputusan yang diambil tidak sesuai dengan hak mereka atau tidak mempertimbangkan kebenaran yang hakiki.
Sementara itu, keadilan prosedural berfokus pada proses penyelesaian perkara yang transparan, efisien, dan berkeadilan. Hukum acara peradilan agama harus memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam sengketa mendapat kesempatan yang sama untuk mengemukakan argumentasi dan bukti-bukti mereka. Setiap tahapan dalam proses peradilan harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan perhatian terhadap hak asasi setiap individu, serta menghindari diskriminasi atau ketidakadilan dalam penerapannya.
Namun, dalam praktiknya, sistem peradilan agama di Indonesia seringkali dihadapkan pada tantangan terkait prosedur yang masih bersifat birokratis dan kurang efisien. Antrian perkara yang panjang, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten, serta terbatasnya fasilitas teknologi informasi yang mendukung proses peradilan, seringkali menyebabkan proses peradilan menjadi lambat dan kurang efektif. Hal ini tentunya berdampak pada kepuasan masyarakat terhadap proses peradilan agama, karena ketidakpastian waktu penyelesaian perkara bisa menjadi beban emosional dan finansial bagi para pencari keadilan.
Untuk mencapai efektivitas yang maksimal, hukum acara peradilan agama perlu mengalami penyempurnaan dan modernisasi. Modernisasi di sini bukan hanya dari segi teknologi, tetapi juga dari aspek pembaruan pemahaman tentang hukum Islam yang lebih responsif terhadap perubahan zaman. Hal ini bisa dilakukan melalui pelatihan yang berkelanjutan bagi hakim dan aparatur peradilan agama, serta meningkatkan penggunaan teknologi untuk mempercepat proses peradilan dan mengurangi praktik-praktik yang tidak efisien.
Sistem hukum acara peradilan agama harus lebih inklusif dengan memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang terus berkembang. Implementasi prinsip-prinsip keadilan, baik substantif maupun prosedural, harus dilakukan secara seimbang, agar hak-hak individu terlindungi dengan baik.
Keadilan substantif dan prosedural harus berjalan beriringan untuk memastikan bahwa pencari keadilan dapat memperoleh hak-hak mereka dengan cara yang adil dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.*
*) Imelda Palimbunga
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman