JEJAK ARSITEKTUR Jepang, metabolizmu, shinchintaisha yang disebut gerakan arsitektur biomimetik pascaperang, memadukan gagasan tentang megastruktur arsitektural dengan gagasan pertumbuhan biologis organik akibat bom Nagasaki, 9 Agustus 1945 oleh Amerika.
Ciri estetika arsitektur Jepang, kesederhanaan, kepolosan, kelurusan dan ketenangan batin, sangat cukup untuk membaptis Jepang sangat memperhatikan aspek filsafat ke dalam ciri arsitekturnya.
Secara arsitektural bangunan Jepang adalah harmoni, keseimbangan dan keheningan yang disebut indah itu mempengaruhi sistem konstruksi pada bangunan yang dirancang ringan dan halus.
Bangunan di jepang berbentuk simetris dengan memakai sliding door pada pintu, penggunaan kertas pada dinding rumah menjadikan rumah tersebut terkesan ringan, ukuran ruang memakai tatami, shoku, atap dominan dengan bentuk lengkung yang bersifat sederhana, kebanyakan pada rumah jepang tidak memakai cat melainkan bersifat alami.
Lalu, sifat arsitektur Jepang yang ringan dan halus, konstruksi kayu lebih menonjol dan diolah sangat halus dengan bentuk-bentuk lengkung dan kesederhanaan. Secara keruangan bangunan di Jepang diatur dalam simetrika yang seimbang. Bahkan arsitektur lansekap Jepang sangat naturalis dan tidak dapat dipisahkan dengan desain bangunan.
Sebelum Pevsner menulis editorialnya pada tahun 1949 di Architectural Review dan lebih luas lagi sejak tahun 1960-an, teori arsitektur telah memberikan penjelasan filosofis untuk kritik arsitektur, praktek desain, dan pendidikan, sementara Jepang tidak pernah bergeser dari konsep filosofisnya.
Banyak hal yang dianggap sebagai ilmu arsitektur telah menyerupai sejarah gagasan filosofis. Medan yang berubah dan kemungkinan praktik yang tidak terduga telah menghasilkan penilaian ulang kritis yang berkelanjutan. Termasuk istilah-istilah disiplin ilmu, serta tradisi intelektual dan estetika, termasuk triad Vitruvian dan warisannya.
Teori sebagian besar telah diinformasikan oleh filsafat Eropa kontinental. Gerakan-gerakan seperti idealisme Jerman, fenomenologi, strukturalisme dan poststrukturalisme, Mazhab Frankfurt, neo-Marxisme, teori psikoanalitik, dan teori feminis dan dekonstruksi sastra, YB Mangunwijaya alumni Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule Jerman telah mendapat perhatian di kalangan sejarawan arsitektur, ahli teori dan praktisi desain. Bahkan Mangunwijaya disebut sebut sebagai Bapak Arsitektur Modern di Indonesia.
Lalu dalam sarasehan arsitektur di Surabaya, 2020 silam, saya menyebut bahwa otonomi arsitektur, seperti seni kreatif lainnya dipertanyakan oleh apa yang digambarkan oleh beberapa orang sebagai karakter disiplin ilmu yang tidak dapat ditentukan, dicampur atau dihibrid akan oleh daya tarik arsitektur karena penulisan kritis.
Hal ini mencakup teori yang menganggap disiplin kreatif lebih bersifat demonstratif terhadap kebenaran filosofis, dan bukan sebagai wawasan etis yang produktif terhadap kondisi manusia. Dalam upayanya untuk memberikan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai bidang ini, Andrew Benjamin, yang telah banyak menulis tentang arsitektur dan tradisi kontinental, mengusulkan untuk memikirkan kekhususan arsitektur dan merancang filsafat arsitektur yang unik dan lebih terstruktur (2000, vii).
Apakah usaha Benjamin, atau upaya lainnya, telah memberikan kerangka kerja bagi filosofi arsitektur yang diinginkan Pevsner, masih menjadi pertanyaan. Banyak hal bergantung pada bagaimana filsafat itu sendiri dipahami dan posisi seseorang dalam kaitannya dengan sejarah, teori, atau praktik.
Mengadopsi konsepsi filsafat yang hormat, misalnya. Memberikan hak istimewa pada cara interogasi sebagai sarana untuk mengklarifikasi dan mengadili klaim kebenaran yang muncul di bidang-bidang ini.
Pandangan lain, yang umum di sekolah arsitektur dan dianut oleh para praktisi yang mencari ketelitian intelektual dalam pekerjaan mereka, mengharuskan adanya filsafat, prinsip panduan atau penafsiran teoritis yang menyertai setiap proyek desain.
Idealisme, khususnya gerakan yang berasal dari filsafat Jerman akhir abad ke 18 dan awal abad 19 dan mendapat imprimatur Kant dan khususnya Hegel, penting dalam memperlakukan karya arsitektur sebagai objek kesadaran kita, makna dan nilainya bervariasi, meskipun pada akhirnya ditentukan oleh respons pikiran terhadap dunia material.
Seperti yang ditunjukkan McQuillan dalam artikelnya tentang idealisme Jerman. Gerakan ini luar biasa karena perlakuan sistematisnya terhadap beberapa disiplin filosofis, termasuk estetika, yang kemudian dapat ditambahkan sejarah seni yang kemudian menjadi disiplin yang dapat dikenali.
Sejarah arsitektur sebagian besar merupakan cabang dari sejarah seni. Sejarawan idealis Jerman yang menulis pada pertengahan hingga akhir abad ke 19 awal abad ke 20 (Schnaase, Semper, Wölfflin dan Warburg dan lain-lain; lihat Podro 1982) memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan kanon seni dan arsitektur.
Abstrak—Me”musik”kan Sebelum lanjut saya ingin menjelaskan dulu seputar kata Canon dalam arsitektur. Mengutip perkataan Goethe, filosofi terkenal yang berbicara tentang arsitektur sebagai musik yang dibekukan. Sama halnya dengan musik, arsitektur juga dapat memiliki irama. Karena itu, dipilihlah Canon sebagai tema Sekolah Tinggi Seni pertunjukan.
Mengingat Canon dalam musik ternyata dapat menciptakan melodi yang atraktif, sehingga sesuai sebagai tema sekolah yang bertajuk pertunjukan. Perancangan ini memakai teori Tangible Metaphor.
Proses yang dibutuhkan adalah bagaimana menuangkan karakter dari Canon, agar dapat terlihat pada rancangan nantinya, melalui proses transformasi. Adapun karakter Canon adalah pengulangan melodi; terdapat melodi Leader dan Follower dengan durasi tertentu dan imitasi oleh melodi Follower berupa ritme/interval yang sama atau transformasi dari ritme/ intervalnya.
Sehingga kesan akhir yang didapatkan adalah tercipta melodi yang saling bersahutan membentuk keharmonisan. Berdasarkan karakter tersebut, akhirnya dihasilkan desain rancangan yang meliputi siteplan dengan sistem sirkulasi outer ring road dengan pola pengulangan garis, massa bangunan dengan pola layering dan pengulangan pola bentuk, dan interior dengan pola Canonicnya.
Nah, soal historiografi kritis tentang arsitektur berkembang seiring dengan gagasan Hegel tentang Zeitgeist (semangat zaman yang terwujud dalam bentuk seni) dan Weltanschauung (gagasan bahwa seni mewakili pandangan dunia suatu masyarakat). Perdebatan filosofis tentang hakikat arsitektur didorong oleh analisis komparatif yang dikembangkan oleh tradisi ini dan pandangan yang melihat bentuk-bentuk seni dikategorikan menurut kapasitasnya untuk mewujudkan kebenaran universal.
Nah pengaruh Hegel dan idealisme terlihat dalam tulisan Pevsner tentang asal mula gerakan modern, khususnya dalam Pioneers of the Modern Movement (1936). Dalam teks penting ini, perkembangan bentuk arsitektur mewujudkan munculnya estetika fungsionalis dan semangat yang menunjukkan zaman modern. Ada rasa determinisme historis yang kuat di balik gerakan ini, termasuk Canonic sebagai akulturatic arsitektur dari era 45 an sampai 2020 an.(*)
*) Dr. Ir. Sunarto Sastrowardojo, M.Arch – Tenaga Ahli, Pemkab PPU, Direktur Rusa Foundation Indonesia