SAMARINDA – Salah satu anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI) Hasanuddin Rahman Daeng Naja, kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materiil terhadap UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang diajukannya.
“Menurut saya, ada cacat proses dalam terbitnya putusan tersebut,” sebut pria yang akrab disapa Daeng Naja ini, kepada awak media.
Pria yang juga penulis puluhan buku hukum ini menyebutkan, lazimnya sebuah sidang, semestinya ada persidangab pembuktian dan pemeriksaan terhadap pemohon, alat bukti, keterangan saksi, keterangan ahli juga dari pihak terkait.
“Dalam sidang gugatan yang saya ajukan, sama sekali tidak ada tindakan memeriksa dan mengadili, sebagaimana lazimnya sebuah peradilan. Yang ada hanya analisa hukum atas permohonan yang saya ajukan,” beber pria yang tinggal di Samarinda, Kaltim ini.
Dikatakan, hasil analisa para hakim itulah yang kemudian dijadikan putusan. “Wajar jika kemudian saya bertanya, mereka yang 9 orang itu hakim atau analis?” tanyanya.
Diketahui, Daeng Naja mengajukan uji materiil terkait dalam pasal 56 UU Nomor 41/2004 dan meminta mahkamah menyatakan pasal 56 UU 41/2004 bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan terkait masa jabatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diajukan menjadi menjadi lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Sementara, saat ini dalam pasal 56 UU 41/2004 berbunyi “Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.”
Gugatan yang diajukan Daeng Naja bukan tanpa alasan. Ia mencontohkan masa jabatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang awalnya 4 tahun kemudian disetujui oleh Mahkamah Konstitusi menjadi 5 tahun.
Atas dasar itu pula, Daeng Naja juga mengajukan gugatan agar masa jabatan anggota BWI juga menjadi 5 tahun, dan bisa diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Sementara pasal terkait masa jabatan yang hanya 3 tahun itu menurutnya bertentangan dengan UUD 1945.
Namun MK menolak uji materiil UU Nomor 41 Tahun 2004 tersebut. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” demikian dikutip dari Ketua MK Anwar Usman dipantau dari kanal resmi Youtube Mahkamah Konstitusi, Rabu (30/8).
MK menyatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma karena adanya perbedaan masa jabatan anggota di BWI, dengan anggota di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Dalil pemohon yang mempersoalkan hak pemohon yang tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena masa jabatannya tidak 5 tahun, juga dinilai tidak ada kaitannya dengan pasal 56 UU 41/2004.
Menurut Mahkamah, perbedaan masa jabatan di setiap lembaga seperti BWI, BAZNAS, dan BPKH tidak serta merta dapat diartikan melanggar hak konstitusional warga negara atau bertentangan dengan UUD 1945. Karena hal tersebut ditentukan sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, berdasarkan kebutuhan pengaturan masing-masing lembaga.
Terkait keluarnya putusan itu, Daeng Naja menyampaikan sempat mengikuti tiga kali sidang panel di MK. Menurutnya, persidangan yang ia ikuti sebanyak tiga kali tersebut, belum layak disebut praktik peradilan.
“Sidang pertama, hanya pembacaan permohonan dari saya sebagai pemohon dan nasihat perbaikan permohonan dari hakim panel sebanyak 3 orang,” ujarnya. Kemudian pada sidang kedua, pembacaan permohonan yang telah diperbaiki sesuai nasihat.
“Nah setelah itu, pada sidang ketiga langsung pengucapan putusan. Peradilan macam apa ini?” tanyanya.
Padahal, salah satu pasal dalam UU MK, menurut Daeng Naja disebutkan: “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Kemudian pasal lain menegaskan: “Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi.”
“Pada sidang gugatan yang saya ajukan itu, tidak ada sama sekali persidangan pembuktian. Tidak ada tindakan memeriksa dan mengadili, sebagaimana ketentuan UU MK tersebut,” bebernya.
Yang ada menurut dia hanya analisa hukum atas permohonan yang ia ajukan. Hasil analisa para hakim inilah yang dijadikan putusan.
“Jadi mereka yang sembilan orang ini, lebih layak disebut analis, bukan hakim, tambahnya.
Padahal menurutnya, harus ada sidang pembuktian termasuk untuk mendatangkan saksi dan ahli, pihak Pemerintah, DPR sebagai pembentuk Undang-undang atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan.
“Jadi, putusan yang diambil hakim MK terhadap gugatan ini, bukan hanya tidak sah tetapi juga melanggar hukum,” pungkasnya. (*)