Menyelami lebih dalam, penegak hukum selain memiliki peranan besar juga menjadi penentu arah penegakan hukum yang berkeadilan. Hal tersebut mengharuskan adanya penyertaan aspek komprehensif sebagai alat pencapaiannya, moralitas dan integritas salah satunya.
Aspek ini penting, mengingat ranah penegakan hukum inheren dengan humanisme yang tidak mengandalkan mesin dalam prosesnya. Penegak hukum sebagai bagian integral penegakan hukum harus memegang teguh moralitas dan integritas dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Tujuannya adalah tidak adanya perbuatan menyimpang yang dapat merenggut hak individu dalam penegakan hukum.
1.1 Terminologi Moral
Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berpikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
1.2 Terminologi Integritas
Dalam tatanan pemaknaan bahasa, integritas berakar dari Bahasa Latin yakni “integer” yang memiliki kedalaman makna seluruh atau suatu bilangan bulat. Pemaknaan ini membawa pada kesimpulan bahwa integritas adalah suatu hal yang sifatnya utuh, bulat atau tidak dapat dibagi, dan menyeluruh. Hal ini memiliki beberapa elemen yang menjadi satu kesatuan karena adanya hubungan serta kuatnya timbal balik di dalamnya. Terdapat kategori integritas yang salah satunya adalah evaluatif. Integritas ini inheren dengan keterlibatan manusia sebagai pemiliknya.
Adapun menurut Montefiore dan Vines, menuturkan integritas sejalan dengan akar bahasanya yakni Latin (integer atau integritas) yang berarti utuh, harmoni, keutuhan atau kelengkapan sebagai konsistensi dan koherensi prinsip dan nilai. Dobel memberikan pandangan lain mengenai integritas mencakup nilai seperti: (i) suatu hal yang dapat dicontoh; (ii) sifat yang tidak dapat disuap; (iii) kejujuran; (iv) ketidakberpihakan; dan (v) akuntabilitas. Kemudian terdapat pemikiran lain yang menjelaskan integritas sebagai cara bertindak berdasarkan moral sehingga dapat diletakkan pada suatu pemahaman bahwa bertindak dengan integritas sama halnya bertindak secara etis atau moral.
Terminologi tersebut membawa pada istilah integritas dilihat sebagai kualitas seseorang (kategori evaluatif) dalam bertindak yang relevan dengan nilai, norma, dan aturan moral. Karakter ini biasanya erat kaitannya dengan seorang pemimpin maupun seseorang yang berperan besar untuk menjalankan roda kehidupan bernegara. Karakter yang menjadi prasyarat utama sekaligus kewajiban yang harus dipegang ini akan mendapatkan timbal balik positif dari masyarakat maupun bawahan berupa kepercayaan atas kedudukannya. Interpretasi integritas tinggi adalah orang sekitar akan turut merasakan kesesuaian nilai etis dengan apa yang dilakukan dan dikatakannya.
1.3 Upaya Revitalisasi Moralitas dan Integritas
Revitalisasi Moralitas dan Integritas saat ini menjadi urgensi yang harus dilakukan karena memberikan impact jangka panjang dalam perwujudan budaya anti korupsi kolusi dan nepotisme. Menilik hal tersebut, memang bukan suatu hal yang mudah dan cepat tetapi membutuhkan proses panjang yang dilaksanakan dengan terstruktur dan konsisten yaitu kerangka dari hulu ke hilir, dari proses seleksi aparat, kinerja dan desain pengawasannya, ini penting karena jika proses seleksinya tidak ketat maka otomatis kinerja dan pengawasannya akan berlubang dan jika di awal bermasalah di akhir pasti akan bermasalah juga. Kinerja berbicara soal maried sistem, orang menduduki jabatan tinggi karena dia memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni.
Beberapa proses dalam upaya perevitalisasian moralitas dan integritas;
- Transparansi
Transparansi kinerja Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Jaksa, Polisi dan Hakim penting untuk diketahui masyarakat, seperti digitalisasi perkara dengan pertimbangan setidak tidaknya masyarakat bisa mengetahui proses dan kendala yang terjadi dalam proses penyelesaian perkara tersebut, ini budaya yang sangat penting untuk diterapkan pada Aparat Penegak Hukum.
Dengan adanya digitalisasi perkara maka akan muncul aksesibilitas yang dimana digitalisasi perkara menjadikan layanan APH dapat diakses secara digital dan meluas oleh masyarakat, sehingga memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi perkara, proses sidang, dan publikasi putusan hakim sehingga pada akhirnya transparansi penyelesaian perkara itu tergambar jelas dan benar benar membuka ruang kepada masyarakat untuk tahu lebih banyak mengenai proses penyelesaian perkara tersebut.
- Integritas penegak hukum.
Integritas aparat penegak hukum merupakan hal yang berperan sangat penting dalam penurunan kasus korupsi kolusi dan nepotisme. Aparat penegak hukum berada dalam posisi yang berkuasa dan rentan terhadap permasalahan tersebut. Menjaga integritas merupakan hal yang krusial karena integritas dapat mendorong budaya kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas dalam lingkup aparat penegak hukum itu sendiri.
Selain itu, dalam menjaga integritas sebenarnya terdapat tantangan yang faktual dialami oleh aparat itu sendiri, sebagai contoh adalah hadirnya sistem komando yang dimana anak buah atau junior suka tidak suka tetap harus tunduk dengan senior mereka. Ini buruk karena membuka ruang korupsi, suap dan gratifikasi (culture feodal) karena bisa saja junior akan mencari cara agar disukai oleh senior misalnya dengan memberikan hadiah dan lain sebagainya. Ini membuktikan bahwa masih dibutuhkannya pengawasan……(sambungin sm subtema 2).
- Proses revitalisasi harus dibenahi dari hulu ke hilir
Dalam hal ini, kita dapat mengambil contoh konkrit berdasarkan kajian ICW, ditemukan tiga permasalahan mendasar yang menjadi penyebab APH tersandung korupsi;
– Pertama terkait faktor integritas personal.
Pada dasarnya permasalahan tersebut bisa diatasi dengan memastikan proses hulu seperti rekrutmen calon APH benar-benar berjalan objektif, transparan, dan akuntabel. Selain itu, untuk mendorong integrasi perlu diperhatikan dari sisi tingkat kepatuhan aparat penegak hukum dalam pelaporan harta kekayaan yang dimiliki. guna mendorong integritas yang dimana dalam konteks ini dibutuhkan peran dari pimpinan selaku penanggung jawab kelembagaan agar dapat menjalankan dan menegakan peraturan internal terkait hal tersebut.
– Faktor kedua adalah sistem pengawasan dan penindakan di internal kelembagaan yang lemah. Pada dasarnya mekanisme check and balance lembaga pengawas APH seperti pada kejaksaan fungsi Jaksa Agung Muda Bidang Pengawas dan Komisi Kejaksaan sangat dibutuhkan. Namun, mari kita lihat bukti konkrit yaitu kasus Jaksa Pinangki kedua lembaga tersebut justru berselisih paham, ini membuktikan masih sangat lemahnya mekanisme check and balance dalam pengawasan dan penindakan internal kelembagaan.
– Ketiga, problematika klasik terkait dengan APH yang bermasalah kerap kali hanya diselesaikan melalui mekanisme internal, tanpa menyentuh aspek penegakan hukum.
Ini buruk, karena jangan sampai perkara yg sdh jelas terindikasi korupsi, kolusi dan nepotisme malah dikunci dan di selesaikan secara etik saja. Seharusnya perlu dilakukan secara bersamaan dengan proses hukum. Sebagai contoh, polisi yang menerima gratifikasi jangan diselesaikan dengan etik saja tetapi langsung ke aparat hukum, kasus kepolisian jangan diselesaikan oleh kepolisian tapi ke kejaksaan dan juga sebaliknya untuk menghindari konflik interest yang terjadi di lingkup aparat penegak hukum itu sendiri.
- Budaya kerja APH harus diperbaiki
Pada dasarnya, penempatan jabatan harus berdasarkan keterampilan individu bukan kedekatan dengan atasan. Jika peningkatan jabatan dilakukan berdasarkan kedekatan dengan atasan maka sudah jelas dapat menimbulkan praktik nepotisme dan korupsi serta menurunkan eksistensi dan kualitas kerja aparat penegak hukum itu sendiri dikarenakan secara kapabilitas saja mereka tidak mampu tetapi diberikan jabatan diluar dari kemampuan mereka sehingga akan menimbulkan kekacauan dan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum karena aparatnya saja tidak menguasai apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi yang harus mereka kerjakan sehingga menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat pada akhirnya. (*)