Pemindahan lokasi pertandingan cabor bridge dari Hotel Hermes di Banda Aceh ke Hotel Renggali di Takengon yang dilakukan mendadak atau hanya berselang sekitar dua bulan awalnya mendapat berbagai response negative.
Ini terjadi karena umumnya jarang orang Indonesia yang mengenal Aceh apalagi Takengon, Aceh Tengah yang jaraknya masih harus naik mobil sekitar 8 jam dari Banda Aceh,
Belum lagi banyak beredar berita negative tentang jalan dari Banda Aceh yang disebut rusak parah dan Sepertinya video atau berita tersebut diambil dari berita beberapa tahun yang lalu.
Tukang bridge sebagai orang yang dianggap cukup banyak tahu tentang ini karena akan mewakili Propvinsi Aceh di PON nanti, mendapat pertanyaan yang kadang-kadang cukup menggelikan, seperti “apakah mudah mencari restoran disana” dan “apakah kita bisa mengambil uang dari ATM dengan BCA atau Mandiri”?
Untuk meredam ini, tukang bridge kebetulan punya sumber terpercaya Said Zulhasri Ketua Pengprov Gabsi Aceh dan Arnold G Laseduw Turnamen Delegate Cabor Bridge di PON Aceh-Sumut 2024.
Kebetulan mereka berdua datang survey kesiapan tempat pertandingan sebelum resmi diumumkan.
Memang awalnya ada pilihan di Hotel Parkside. Namun kemudian beralih ke hotel Renggali dan atlet tinggal di Grand Bayu Hill Hotel.
Karena kita saling berkomunikasi dan mereka juga mengirimkan rekaman video, foto serta ukuran ruangan pertandingan serta perjalanan mereka dari Banda Aceh ke Takengon jelas terlihat bahwa apa yang ada di benak sebagian pemain jelas berbeda.
Tentu saja informasi dari paman Google jelas sangat membantu.
Berdasarkan hal ini saya coba menjelaskan, Takengon adalah daerah wisata terkenal di Aceh sehingga setiap weekend pasti akan di serbu pengunjung local dari Aceh.
Sebagai daerah wisata jelas harus memiliki penunjang yang memadai sehingga pertanyaan meragukan diatas dengan mudah terjawab.
Tapi semua ini akhirnya sirna setelah para atlet tiba di Takengon. Kesigapan Panpel dari Takengon dalam menjemput tamu sungguh membuat para tamu merasa diperlakukan dengan baik.
Apalagi masyarakat Aceh memang punya adat “peumulia jamee” atau memuliakan tamu yang terus dipertahankan sampai saat ini.
Kami atlet bridge telah merasakan ini terutama pada tanggal 13 September ketika itu ada pertandingan cabor trialthon. Akibatnya jalanan yang dilewati atlet trialthon ditutup. Ini membuat jalanan macet dan berakibat mobil yang mengangkut atlet bridge menuju tempat pertandingan tidak bisa melanjutkan perjalanan mereka dan terancam kalah walk over.
Para atlet mengambil inisiatif turun dari mobil dan mencari alternative dengan mencari motor atau kendaraan apapun yang bisa ditumpangi agar bisa tiba di tempat pertandingan.
Masyarakat Takengon tanpa segan membantu dengan berbagai daya termasuk memberi tumpangan. Kesan mendalam dari para atlet karena ketika tiba di lokasi para penolong ini tidak ada yang mau menerima bayaran.
Lain lagi, ketika mereka mendengar protes para atlet tentang makanan dan melihat foto dos makanan yang dibagikan lewat medsos. Komentar mereka, kami malu sebagai masyarakat Takengon. Ini sangat tidak wajar.
Satu lagi yang patut dipuji adalah kejujuran masyarakat Aceh seperti yang dialami Pelatih Muaythai Jawa Timur, Soldier Of Tune, membagikan pengalaman mengesankan saat berada di Aceh dalam rangka PON XXI Aceh-Sumut tentang kejujuran Masyarakat Aceh yang mengembalikan Smartphone miliknya yang tertinggal. Ia mengaku dua kali kehilangan ponselnya selama di Balai Mesuraya Aceh (BMA), namun keduanya berhasil kembali ke tangannya berkat kejujuran masyarakat Aceh. (dikuti dari JurnalAceh.com).
Akibat hal-hal diatas ditambah udara sejuk serta pemandangan indah danau Lut Tawar apalagi pertandingan bridge diadakan di Hotel Renggali yang persis berada di pinggir danau.
Ini membuat para atlet selesai bertanding langsung bisa menikmati keindahan danau ini.
Hal ini membuat akhirnya hamper semua atlet bridge jatuh cinta dengan Takengon apalagi setelah diundang mangan morom atau makan bersama oleh Pj. Bupati Aceh Tengah Subhandy, AP, M.SI dan semua atlet dan official diberikan Syal kerawang Gayo, yang menjadi simbol kekayaan budaya lokal, diberikan sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi kepada para atlet dan official dari berbagai provinsi yang telah hadir dan berkompetisi di Kabupaten Aceh Tengah.